Rabu, 16 Januari 2013

ikan dansa



kawan, dulu di bangku SMA aku pernah mempelajari sedikit ilmu tentang zoologi , dan aku juga dari kecil hobi mengkoleksi ikan-ikan hias, banyak jenis ikan hias yang aku tahu nama-namanya, namun hari ini tak sengaja aku masuk ke salah satu toko ikan hias di kota “beribadat”.
Sungguh tercengang hatiku, lemas lunglai seluruh tulangku, hatiku berdegup tak karuan, mripatku melotot karena keindahannya, begitu juga dengan kawanku yang udik ini: Ghilman. Ikan  itu kecil sekecil jari kelingking, tubuhnya bersisik putih, seputih pasir dilautan yang belum terjamah oleh manusia; indah sekali, matanya yang mungil menambah kekarismaan tubuhnya, seolah matanya berbicara padaku, “wahai bujang, belilah daku dari bapak penjual ini, kan ku temani hari-harimu yang terkadang galau” oh sungguh mempesona. Dan yang paling membuat hatiku berdegup tak karuan adalah tariannya! Ia berlari kesana kemari menari-nari di akuarium dengan tubuhnya yang seksi, terkadang tubuhnya cungkir balik tak karuan, meliuk-liuk bak perenang senam olimpiade dengan gaya yang jarang dikuasai oleh banyak orang awam, terkadang pula tubuhnya terbalik dan berenang dengan kecepatan yang tinggi,  terkadang pula tubuhnya yang seksi itu keluar dari air melompat ke udara. Oh sungguh eksotis sekali kawan. Ku katakan pada Ghilman,” woi wa, keren nemen iwak kiye sung! Laka-laka wa”. Kawanku yang udik ini menjawab ”iya wa keren, njajal takon ming bapane sing adol iwak kiye, arane iwak apa”.
Tanpa berfikir panjang aku langsung bertanya, dan bapak penjual pun menjawab “ikan dansa namanya lek” sambil tersenyum simpul. Kawan, 21 tahun aku hidup di bumi pertiwi ini banyak sekali jenis senyuman yang aku jumpai dan langsung bisa ku maknai apa arti senyum itu, namun kali ini sungguh berbeda; senyuman bapak penjual ini sungguh amat misterius bagiku. Ah persetan dengan senyuman, batinku.
iwak dansa wa arane wa, dansa reggae…hahaha ”, Ghilman yang udik pun ikut tertawa. Sekali lagi aku melihat matanya dan ikan itu berbicara “wahai bujang, ayolah bawa daku bersamamu”, “oh tentu saja ikan dansa sayang, kan ku bawa engkau bersamaku”.
Sekali lagi aku mengamati tubuhnya yang seksi itu, kupresentasikan teori terbaruku tentang ikan dansa pada Ghilman dengan gayaku yang seperti ilmuwan ahli zoologiwa, lihatlah ikan dansa ini, kau tahu kenapa ia bisa berdansa indah sekali? Lihatlah struktur tulangnya, gusti Tuhan telah mendesain ciptaanNya sedemikian rupa wa!Oh sungguh indah sekali ciptaanNya ini, pasti tulangnya lunak sekali wa hingga ia bisa meloncat kesana kemari, meloncat ke udarapun tak masalah baginya” Ghilman yg udik pun mengaminii kata-kataku  “iya wa bener, ente cah IPA sih yah!” lagaknya memberi pujian padaku, “ora mung sekedar cah jurusan ipa wa! Kaya ngene paha calon mahasiswa biologi!!haha”.
Singkat cerita, ikan dansa sudah ku beli dari bapak penjual. Sebelum pulang ke kos, ku tanyakan pada dia, dimana engkau kulakan ikan nan indah ini pak? Dengan senyum yang misterius seperti tadi ia menjawab “di bogor lek”. Ghilman yang dari tadi keheranan akan ikan nan bisa berdansa ikut nimbrung “wauw jauh sekali pak”. Bapak penjual pun menjawab “yah begitulah lek”, sambil tersenyum, senyum yang belum ku jumpai seumur hidupku.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Berdansa bersama si Creteg dan Su-kaji
Sore yang mendung di kota “beribadat”, tiba-tiba kawan lamaku si Creteg dan Suka-ji datang di kosku ; gubuk cita-cita dan mimpi-mimpi penuh cinta. Ku pamerkan padanya kekasih hatiku yang baru; ikan dansa. Si Creteg hanya tersenyum dan berkata “ini ikan mabuk lek, sebentar lagi akan dead!!”
Dan malam itu kami meningggalkan kos tuk pergi silaturohim ke kakak tingkat. Malam hari ketika pulang mripatku seolah tak percaya dengan apa yang ku lihat. Benar saja apa si Creteg padaku, oh kekasihku yang baru telah meninggalkan aku dahulu, oh ikan dansa telah pergi tuk selama-lamanya. Kini ku mengerti apa maksud dari senyuman bapak penjual ikan tadi siang, agaknya dalam hati ia berkata sambil tersenyum padaku dan Ghilman, “wahai bujang, engkau telah tertipu, mana ada ikan dansa di dunia ini! Ini hanya ikan yang mabuk dan sebentar lagi akan mati!”. Serasa langit tiba-tiba runtuh di kamar kosanku , hatiku sesak—sesak sakali.
Agaknya aku telah digandrungi penyakit gila nomer empat belas: terobsesi ikan dansa. Dan teori-teori keilmiahanku yang tadi siang ku presentasikan pada Ghilman telah usang begitu saja. tapi bagiku entah itu ikan mabuk, ikan penyakiten, ikan jelek, ikan gudik, yang penting ia adalah ikan dansa. Oh malam jumat yang sangat panjang bagiku, hatiku remuk redam, tubuhku seperti ditabrak truk dengan kecepatan 200 km/jam, aku meratap. Oh kekasihku, cintaku, ikan dansa. Tak kusangka hubungan kita secepat ini. Selamat jalan ikan dansa, engkaulah serpihan mozaik hidupku yang kutemui di kota beribadat ini. Pelajaran moral ke dua puluh: jangan langsung percaya pada bapak penjual ikan dansa!
5 oktober 2012 PPL Kendal, ketemu ikan dansa


Hua..hua q terkalahkn sma ikan..huhu (qouzqouzah/pelangi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar