kawan, dulu di bangku SMA aku pernah mempelajari
sedikit ilmu tentang zoologi , dan aku juga dari kecil hobi mengkoleksi
ikan-ikan hias, banyak jenis ikan hias yang aku tahu nama-namanya, namun hari
ini tak sengaja aku masuk ke salah satu toko ikan hias di kota “beribadat”.
Sungguh tercengang hatiku, lemas lunglai seluruh
tulangku, hatiku berdegup tak karuan, mripatku melotot karena
keindahannya, begitu juga dengan kawanku yang udik ini: Ghilman. Ikan itu kecil sekecil jari kelingking, tubuhnya
bersisik putih, seputih pasir dilautan yang belum terjamah oleh manusia; indah
sekali, matanya yang mungil menambah kekarismaan tubuhnya, seolah matanya
berbicara padaku, “wahai bujang, belilah daku dari bapak penjual ini, kan ku
temani hari-harimu yang terkadang galau” oh sungguh mempesona. Dan yang paling
membuat hatiku berdegup tak karuan adalah tariannya! Ia berlari kesana kemari
menari-nari di akuarium dengan tubuhnya yang seksi, terkadang tubuhnya cungkir
balik tak karuan, meliuk-liuk bak perenang senam olimpiade dengan gaya yang
jarang dikuasai oleh banyak orang awam, terkadang pula tubuhnya terbalik dan
berenang dengan kecepatan yang tinggi, terkadang pula tubuhnya yang seksi itu keluar
dari air melompat ke udara. Oh sungguh eksotis sekali kawan. Ku katakan pada
Ghilman,” woi wa, keren nemen iwak kiye sung! Laka-laka wa”. Kawanku yang
udik ini menjawab ”iya wa keren, njajal takon ming bapane sing adol iwak
kiye, arane iwak apa”.
Tanpa berfikir panjang aku langsung bertanya, dan
bapak penjual pun menjawab “ikan dansa namanya lek” sambil tersenyum
simpul. Kawan, 21 tahun aku hidup di bumi pertiwi ini banyak sekali jenis
senyuman yang aku jumpai dan langsung bisa ku maknai apa arti senyum itu, namun
kali ini sungguh berbeda; senyuman bapak penjual ini sungguh amat misterius
bagiku. Ah persetan dengan senyuman, batinku.
“iwak dansa wa arane wa, dansa reggae…hahaha
”, Ghilman yang udik pun ikut tertawa. Sekali lagi aku melihat matanya dan ikan
itu berbicara “wahai bujang, ayolah bawa daku bersamamu”, “oh tentu saja ikan
dansa sayang, kan ku bawa engkau bersamaku”.
Sekali lagi aku mengamati tubuhnya yang seksi itu,
kupresentasikan teori terbaruku tentang ikan dansa pada Ghilman dengan gayaku
yang seperti ilmuwan ahli zoologi “wa, lihatlah ikan dansa ini,
kau tahu kenapa ia bisa berdansa indah sekali? Lihatlah struktur tulangnya, gusti
Tuhan telah mendesain ciptaanNya sedemikian rupa wa!Oh sungguh indah
sekali ciptaanNya ini, pasti tulangnya lunak sekali wa hingga ia bisa
meloncat kesana kemari, meloncat ke udarapun tak masalah baginya” Ghilman yg
udik pun mengaminii kata-kataku “iya
wa bener, ente cah IPA sih yah!” lagaknya memberi pujian padaku, “ora
mung sekedar cah jurusan ipa wa! Kaya ngene paha calon mahasiswa biologi!!haha”.
Singkat cerita, ikan dansa sudah ku beli dari
bapak penjual. Sebelum pulang ke kos, ku tanyakan pada dia, dimana engkau kulakan
ikan nan indah ini pak? Dengan senyum yang misterius seperti tadi ia menjawab
“di bogor lek”. Ghilman yang dari tadi keheranan akan ikan nan bisa
berdansa ikut nimbrung “wauw jauh sekali pak”. Bapak penjual pun menjawab “yah
begitulah lek”, sambil tersenyum, senyum yang belum ku jumpai seumur
hidupku.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Berdansa
bersama si Creteg dan Su-kaji
Sore yang mendung di kota “beribadat”, tiba-tiba
kawan lamaku si Creteg dan Suka-ji datang di kosku ; gubuk cita-cita dan
mimpi-mimpi penuh cinta. Ku pamerkan padanya kekasih hatiku yang baru; ikan
dansa. Si Creteg hanya tersenyum dan berkata “ini ikan mabuk lek,
sebentar lagi akan dead!!”
Dan malam itu kami meningggalkan kos tuk pergi
silaturohim ke kakak tingkat. Malam hari ketika pulang mripatku seolah
tak percaya dengan apa yang ku lihat. Benar saja apa si Creteg padaku, oh kekasihku
yang baru telah meninggalkan aku dahulu, oh ikan dansa telah pergi tuk
selama-lamanya. Kini ku mengerti apa maksud dari senyuman bapak penjual ikan
tadi siang, agaknya dalam hati ia berkata sambil tersenyum padaku dan Ghilman,
“wahai bujang, engkau telah tertipu, mana ada ikan dansa di dunia ini! Ini
hanya ikan yang mabuk dan sebentar lagi akan mati!”. Serasa langit tiba-tiba
runtuh di kamar kosanku , hatiku sesak—sesak sakali.
Agaknya aku telah digandrungi penyakit gila nomer
empat belas: terobsesi ikan dansa. Dan teori-teori keilmiahanku yang tadi siang
ku presentasikan pada Ghilman telah usang begitu saja. tapi bagiku entah itu ikan
mabuk, ikan penyakiten, ikan jelek, ikan gudik, yang penting ia adalah ikan
dansa. Oh malam jumat yang sangat panjang bagiku, hatiku remuk redam, tubuhku
seperti ditabrak truk dengan kecepatan 200 km/jam, aku meratap. Oh kekasihku,
cintaku, ikan dansa. Tak kusangka hubungan kita secepat ini. Selamat jalan ikan
dansa, engkaulah serpihan mozaik hidupku yang kutemui di kota beribadat ini.
Pelajaran moral ke dua puluh: jangan langsung percaya pada bapak penjual ikan
dansa!
5 oktober 2012 PPL Kendal, ketemu
ikan dansa
Hua..hua q terkalahkn sma
ikan..huhu (qouzqouzah/pelangi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar