fajari yang tenang, setenang air kopi di dalam gelas; hitam
pekat, pahit, namun jika diminum ah segar sekali. Tak ada suara bising yang
menemani fajar ini, hanya jangkrik2 kecli yan berbunyi. Ah sungguh sepertiga
malam yang sunyi, sunyi sekali. Dan kudapatkan aku seorang diri, terpojok di
kosan yang sepi—seperti orang mati.
Salah, aku tidak
sendri, ah ini jamannya teknologi ku
telpon dia, janjian tuk berbincang2
denganNya. kata si dia “gusti akan turun ke bumi manusia ketika sepertiga
malam, barangkali Dia kan mengangkat derajat kita di tempatkan di tempat yang
terpuji”. seperti halnya cerita2 cinta di novel2 atau bahkan televisi: kami
berjanji ketemu di atas sajadah, di waktu yang sama, di tempat yan berbeda, oh
romantis sekali.
Kawan, bukan eksistensi
cerita cinta diatas sajadah cinta sebenarnya, aku sendiri terkadang bingung
dengan sajadah-sajadahku yang terkadang tercecerkkan oleh hitamku,terserak
dimana2, tersebar tak karuan dan fajar ini
aku merajutnya satu persatu, ku jahit dengan tanganku, dan sungguh
mempesona, si dia membantuku memperindah sajadahku.
Bukan cerita cinta di atas sajadah cinta, bukan pula
ayat-ayat cinta, yang menebarkan kesempurnaan manusia. Robana dzolamna angfusana wa inlam
taghfirlana wa tarhamna lana kunanna minalkhosirin. Si dia telah
menuntunku, menuju putihku. Sekali lagi bukan cerita di atas sajadah
cinta, hanya cerita sederhana: menunjukan bahwa malam sepekat kopi, namun di
malam itu gusti turun ke bumi manusia. Kata dia dalam risalatun qosirohnya
padaku, “bukalah al-isro ayat 79”. Oh Fajar yang sepi, sedu sedan membasahi
pipi, duh gusti semoga engkau menemptakn aku dan orang2 yang kucinta dan
orang2 disekitarku, engaku tempatkan di tempat yang terpuji .
fajar yang sunyi, terimakasih telah membantuku menjahit
sajadah yang terserak di mana2, tersebar tak karuan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar