Rabu, 16 Januari 2013

fajar yang sepi



fajari yang tenang, setenang air kopi di dalam gelas; hitam pekat, pahit, namun jika diminum ah segar sekali. Tak ada suara bising yang menemani fajar ini, hanya jangkrik2 kecli yan berbunyi. Ah sungguh sepertiga malam yang sunyi, sunyi sekali. Dan kudapatkan aku seorang diri, terpojok di kosan yang sepi—seperti orang mati.
 Salah, aku tidak sendri, ah ini jamannya teknologi  ku telpon dia, janjian  tuk berbincang2 denganNya. kata si dia “gusti akan turun ke bumi manusia ketika sepertiga malam, barangkali Dia kan mengangkat derajat kita di tempatkan di tempat yang terpuji”. seperti halnya cerita2 cinta di novel2 atau bahkan televisi: kami berjanji ketemu di atas sajadah, di waktu yang sama, di tempat yan berbeda, oh romantis sekali.
Kawan,  bukan eksistensi cerita cinta diatas sajadah cinta sebenarnya, aku sendiri terkadang bingung dengan sajadah-sajadahku yang terkadang tercecerkkan oleh hitamku,terserak dimana2, tersebar tak karuan dan fajar ini  aku merajutnya satu persatu, ku jahit dengan tanganku, dan sungguh mempesona, si dia membantuku memperindah sajadahku.
Bukan cerita cinta di atas sajadah cinta, bukan pula ayat-ayat cinta, yang menebarkan kesempurnaan manusia.  Robana dzolamna angfusana wa inlam taghfirlana wa tarhamna lana kunanna minalkhosirin. Si dia telah menuntunku, menuju putihku. Sekali lagi bukan cerita di atas sajadah cinta, hanya cerita sederhana: menunjukan bahwa malam sepekat kopi, namun di malam itu gusti turun ke bumi manusia. Kata dia dalam risalatun qosirohnya padaku, “bukalah al-isro ayat 79”. Oh Fajar yang sepi, sedu sedan membasahi pipi, duh gusti semoga engkau menemptakn aku dan orang2 yang kucinta dan orang2 disekitarku, engaku tempatkan di tempat yang terpuji .
fajar yang sunyi, terimakasih telah membantuku menjahit sajadah yang terserak di mana2, tersebar tak karuan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar